Putusan DKPP Dinilai Lemahkan Penegakan Hukum Pemilu, Ada Dugaan Konflik Kepentingan

narasi-news.com, Jakarta || Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atas perkara Nomor 122-PKE-DKPP/IV/2025 menuai kritik tajam dari sejumlah kalangan. Dua anggota Bawaslu Jakarta Timur, Ahmad Syarifudin Fajar dan Prayogo Bekti Utomo, yang dijatuhi sanksi dalam perkara tersebut dinilai justru tengah menjalankan tugas pengawasan sesuai prosedur.

 

Putusan DKPP ini disebut-sebut sebagai bentuk kemunduran dalam penegakan hukum Pemilu. Para ahli menilai, sanksi tersebut dapat memberi efek jera yang salah arah terhadap pengawas yang bekerja jujur dan berintegritas.

 

“Jika pengawas yang berani mengungkap kecurangan justru disanksi, maka kita sedang menyuruh pengawas untuk diam dan membiarkan pelanggaran terjadi,” ujar Pakar Hukum Tata Negara Universitas Paramadina, Dr. Widya Saptaningrum, Senin (21/7/2025).

 

Fakta Kecurangan Diabaikan

Dalam persidangan DKPP, kedua pengawas disebut telah bertindak berdasarkan aturan yang sah, yakni Pasal 30 UU No. 10 Tahun 2016 serta Perbawaslu Nomor 6 dan 7 Tahun 2022. Mereka juga mengungkap pelanggaran berat di TPS 28 Kelurahan Pinang Ranti, Kecamatan Makasar.

 

Sejumlah temuan penting di TPS tersebut, antara lain adanya pencoblosan 19 surat suara secara ilegal oleh pemilih tidak terdaftar dan keberadaan anggota KPPS ilegal. Bahkan satu surat suara sempat dimasukkan ke dalam kotak suara.

 

Namun fakta-fakta tersebut dinilai tidak dijadikan dasar oleh DKPP dalam menjatuhkan putusan.

 

“Ketika fakta-fakta lapangan yang sangat jelas justru tidak dijadikan dasar putusan, maka proses etik berubah menjadi prosedur formalistik yang membutakan diri dari realitas,” ujar Dosen Hukum Pemilu UI dan Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini.

 

Diduga Ada Konflik Kepentingan? 

Sorotan lain muncul terkait potensi konflik kepentingan di internal Majelis DKPP. Salah satu anggota majelis, Dr. Didik Suhariyanto, diketahui pernah menjadi saksi ahli yang meringankan dalam sidang kasus Reyvana Helaha, istri dari pihak pengadu dalam perkara ini.

 

Dr. Didik tetap duduk sebagai pemeriksa dalam sidang meski telah diajukan surat keberatan oleh para Teradu. Dalam sidang DKPP tanggal 27 Mei 2025, kedua Teradu bahkan menyatakan menolak menjawab pertanyaan dari Dr. Didik sebagai bentuk protes atas keberpihakannya.

 

“Tidak seharusnya seseorang yang pernah memberikan keterangan menguntungkan bagi pihak yang sekarang menjadi Pengadu ikut memeriksa perkara ini,” tegas Mantan Anggota DKPP dan Konsultan Etika Pemilu ASEAN, Prof. (HC) M. Rizal Siregar.

 

Pengawas Disanksi, Pelaku Justru Aman

Ironisnya, sanksi justru dijatuhkan kepada pengawas, sementara pihak-pihak yang diduga terlibat langsung dalam pelanggaran di TPS 28 seperti KPPS, PPS, PPK, hingga KPU Jakarta Timur tidak mendapatkan evaluasi etik maupun administratif.

 

Dosen Hukum Tata Negara UGM, Dr. Zainal Arifin Mochtar, menilai hal ini sebagai kemunduran serius dalam etika penyelenggaraan pemilu.

 

“DKPP harusnya jadi penjaga moralitas pemilu, bukan malah membungkam integritas,” ujar Zainal.

 

Gugat ke PTUN

Tak terima atas putusan tersebut, Ahmad Syarifudin Fajar dan Prayogo Bekti Utomo menyatakan akan menempuh jalur hukum dengan menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

 

“Kami tidak akan berhenti menyuarakan kebenaran dan menegakkan integritas pemilu. Jika pengawas yang jujur justru disanksi, maka kita sedang menciptakan lubang besar dalam sistem demokrasi kita,” kata mereka dalam keterangan tertulis.

 

Perkara ini pun kini menjadi perhatian luas publik, terutama di tengah upaya menjaga kepercayaan terhadap proses demokrasi dan lembaga penyelenggara pemilu.

Laporan: Red. 

Array
Related posts