narasi-news.com, Jakarta || Aktivitas pertambangan PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS) di Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, kembali menuai kritik keras. Sejumlah aktivis mahasiswa dan pemuda asal Sultra yang tergabung dalam Konsorsium Mahasiswa dan Pemuda Sultra Jakarta Menggugat yang beberapa hari yang lalu menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin, 2 Juni 2025.
Mereka menuding PT TMS sebagai aktor utama perusakan lingkungan di Pulau Kabaena. Sejak mulai beroperasi dan mengekspor ore nikel pada 2019, perusahaan itu diduga telah mengangkut lebih dari 14 juta metrik ton nikel dan meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang masif.
Dampaknya, pencemaran tanah dan air, ancaman terhadap kesehatan warga, serta terganggunya ekosistem alami di pulau kabaena yang dikenal subur tersebut.
Lebih jauh, para aktivis menyoroti dugaan keterlibatan keluarga Gubernur Sulawesi Tenggara, dalam kepemilikan perusahaan tambang tersebut.
Berdasarkan dokumen Ditjen AHU Kemenkumham per Maret 2024, 99 persen saham PT TMS dimiliki oleh PT Bintang Delapan Tujuh Abadi—yang disebut-sebut berada di bawah kendali AN, putri gubernur sultra. Sementara satu persen lainnya disebut atas nama ANH, istri gubernur sultra yang kerap dijuluki “Ratu Nikel Sultra”.
“Kami mendesak Kejaksaan Agung dan KPK untuk mengusut tuntas skema penjualan ore nikel ilegal yang dilakukan PT TMS dan sejumlah entitas lainnya. Volume yang diduga dijual secara ilegal sejak 2019 mencapai lebih dari 14 juta ton. Ini bukan hanya kejahatan lingkungan, tapi juga kejahatan ekonomi,” kata Arnol Ibnu Rasyid dalam pernyataan resminya. Kamis, (12/6/2025).
Arnol menegaskan bahwa langkah hukum harus menyasar aktor-aktor utama di balik tambang tersebut. Ia mendesak aparat penegak hukum memanggil dan memeriksa AN dan ANH yang disebut-sebut sebagai aktor intelektual yang mengendalikan jaringan bisnis nikel di Pulau Kabaena.
“Harus ada keberanian dari aparat hukum untuk membongkar ini sampai ke akar. Dugaan keterlibatan keluarga gubernur bukan sekadar isu politik, tapi soal bagaimana kekuasaan digunakan untuk merampas sumber daya negara secara sistematis, Jum’at ini kami sampaikan ke Kejagung lagi” ucapnya.
Konsorsium yang terdiri dari P21Nusantara dan Forum Komunikasi Mahasiswa Hukum Sultra (FKMH Sultra) juga menuntut pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) PT TMS dan pengembalian hak ruang hidup masyarakat Pulau Kabaena.
“Kabaena bukan tambang. Kabaena adalah ruang hidup. Kami minta pemerintah pusat mencabut IUP PT TMS dan menghentikan seluruh operasi tambang yang merusak pulau ini,” ujar Arnol.
Para aktivis menilai perubahan struktur kepemilikan saham yang tercatat di Kemenkumham hanya merupakan strategi kamuflase untuk menyamarkan aktor sesungguhnya di balik bisnis tambang tersebut.
Mereka menegaskan, tanpa transparansi dan penegakan hukum yang tegas, relasi antara kekuasaan dan korporasi hanya akan memperdalam ketimpangan dan mempercepat kerusakan lingkungan.
Sementara itu, sampai berita ini ditayangkan pihak media masih berupaya melakukan konfirmasi ke pihak terkait.
Laporan: Red.