Opini : Perspektif Sosiologi Pilbup Konsel, Money Politics vs Dinasti Politik

Jakarta – Dalam analisis Pilbup Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) melalui lensa sosiologi politik, dua fenomena besar yang tengah menjadi sorotan utama adalah praktik money politics dan dominasi dinasti politik. 

 

Kedua isu ini tidak hanya mencerminkan dinamika politik lokal, tetapi juga menunjukkan bagaimana struktur sosial dan kekuasaan di daerah tersebut dibentuk dan dipertahankan.

 

Money politics, yang sering kali terjadi dalam pemilihan umum, berfungsi sebagai alat untuk membeli dukungan politik dengan imbalan materi. Dari perspektif sosiologi, fenomena ini mencerminkan adanya ketidaksetaraan dalam distribusi kekuasaan dan sumber daya.

 

Masyarakat, yang sering kali terjebak dalam kondisi ekonomi yang sulit, menjadi sangat rentan terhadap tawaran uang atau barang sebagai imbalan atas suara mereka. 

 

Hal ini menciptakan hubungan patronase yang menguntungkan segelintir individu atau kelompok, sementara masyarakat lebih luas hanya mendapatkan manfaat jangka pendek yang tidak berkelanjutan. 

 

Selain itu, praktik money politics dapat memperburuk polarisasi sosial, karena masyarakat yang lebih kaya atau berkuasa sering kali mengontrol proses politik, sementara kelompok marginal semakin terpinggirkan. 

 

Dalam jangka panjang, budaya politik semacam ini menghambat pembangunan demokrasi yang sehat dan menciptakan ketergantungan masyarakat pada politik uang daripada pilihan berbasis program dan visi pembangunan.

 

Di sisi lain, dinasti politik yang telah berkembang di beberapa daerah, termasuk di Konsel, menjadi tantangan serius dalam konteks perubahan sosial dan demokrasi.

 

Dinasti politik merujuk pada keberlanjutan kekuasaan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam keluarga atau kelompok tertentu. 

 

Dalam konteks Pilbup Konsel, dinasti politik ini bukan hanya mengarah pada penurunan kualitas demokrasi, tetapi juga memperkokoh struktur sosial yang tidak inklusif dan tidak terbuka bagi kesempatan bagi individu di luar jaringan keluarga atau kelompok tersebut. 

 

Dari perspektif sosiologi, fenomena ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan dapat dipusatkan pada satu kelompok kecil yang berpotensi melanggengkan ketidaksetaraan sosial dan politik. 

 

Masyarakat cenderung terjebak dalam dinamika politik yang bersifat oligarkis, di mana akses terhadap kekuasaan sangat terbatas dan lebih didasarkan pada hubungan darah atau keluarga daripada kemampuan atau visi kepemimpinan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

 

Dari sudut pandang pengamat sosial-politik, keduanya—money politics dan dinasti politik—mewakili ancaman besar bagi kemajuan demokrasi di Konsel. Keduanya memperburuk kondisi sosial-politik dengan menguatkan ketimpangan kekuasaan dan menciptakan sistem yang lebih tertutup. 

 

Ketika politik uang dan dinasti politik mendominasi, kebijakan yang diambil sering kali tidak mencerminkan aspirasi rakyat secara luas, tetapi lebih kepada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

 

Untuk memecahkan masalah ini, diperlukan upaya untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat serta mengedukasi pemilih agar lebih kritis dalam memilih pemimpin berdasarkan kapasitas dan visi, bukan berdasarkan pemberian materi atau hubungan darah. 

 

Selain itu, perlu adanya reformasi dalam sistem politik lokal untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan keterbukaan dalam proses pemilihan umum. 

 

Dengan demikian, Pemilihan Bupati Konsel dapat menjadi ajang untuk mewujudkan demokrasi yang lebih sehat, lebih inklusif, dan lebih berorientasi pada pembangunan jangka panjang, bukan sekadar mempertahankan kekuasaan dalam lingkaran yang itu-itu saja.

 

Penulis : Saydul, S.Sos

Praktisi/Pengamat Sosial

Array
Related posts