Jakarta, narasi-news.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mendampingi Aliansi Masyarakat Tani Kecamatan Angata dalam mengadukan PT. Marketindo Selaras ke wakil rakyat di Senayan. Sengketa lahan yang berlarut-larut ini seharusnya menjadi perhatian serius Pemerintah Daerah, bukan malah melindungi korporasi yang bermasalah.
Masyarakat Tani yang terdampak merasa ditinggalkan oleh pemerintah, yang seharusnya hadir untuk melindungi hak mereka.
“Ketika ada masalah, masyarakat berharap pemerintah turun tangan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Semua seakan menutup mata seolah-olah tidak terjadi apa-apa,” ujar salah satu perwakilan masyarakat. Rabu, (12/02/2025).
Permasalahan agraria di kalangan petani sering kali bermula dari perampasan lahan oleh perusahaan, dengan klaim bahwa lahan tersebut telah dibeli dari masyarakat. Praktik mafia tanah semakin marak, mencari lahan petani yang tengah fokus mengelola pertaniannya.
Kasus seperti ini bukan hanya terjadi di Konawe Selatan, tetapi juga di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Sulawesi Tenggara yang masih menyisakan puluhan sengketa agraria yang belum terselesaikan.
Dalam audiensi di Komisi IV DPR RI, WALHI memaparkan berbagai kasus konflik lahan yang menjadi perhatian penggiat lingkungan, salah satunya sengketa antara PT. Marketindo Selaras dan masyarakat tani di Kecamatan Angata, Kabupaten Konawe Selatan.
Tanah yang menjadi objek konflik agraria ini sebelumnya merupakan pemukiman warga serta lahan produktif milik masyarakat di beberapa desa, seperti Motaha, Lamoen, Puao, Puusanggula, Teteasa, Sandey, Sandarsih Jaya, dan Puuroe. Lahan tersebut telah diolah turun-temurun sejak tahun 1800-an, dengan bukti tanaman yang tumbuh serta adanya kuburan tua berjumlah 40 di wilayah Porakua One.
Sejarah kelam konflik lahan ini sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 1997, ketika PT. Sumber Madu Bukari melakukan penggusuran paksa terhadap lahan masyarakat. Rumah, lumbung padi, tanaman, hingga kuburan tua dihancurkan dengan pengawalan ketat aparat, tanpa adanya proses pembebasan lahan atau ganti rugi yang adil.
Pada masa itu, di bawah rezim yang militeristik, masyarakat diintimidasi dan dipaksa menerima ganti rugi sepihak, sehingga akhirnya memicu perlawanan rakyat dengan merusak kantor pertama PT. Sumber Madu Bukari di Desa Motaha, Puao, dan Teteasa, yang saat itu masih bagian dari Kecamatan Lambuya, Kabupaten Kendari.
Eni Samayati, penggiat lingkungan sekaligus Dewan Pembina Pemuda 21, yang turut serta dalam audiensi dengan Komisi IV DPR RI, menegaskan bahwa kasus sengketa lahan ini perlu menjadi perhatian serius berbagai pihak.
“Kasus ini sangat krusial karena melibatkan ribuan korban. Jika dibiarkan, mereka akan kehilangan sumber penghidupan dan dipaksa mencari penghasilan baru yang belum tentu tersedia,” ujar Eni.
Menurutnya, pengaduan langsung ke Senayan adalah upaya terakhir masyarakat untuk mendapatkan keadilan. Jika harapan ini tidak direspons, maka masyarakat tak punya pilihan lain selain menerima kenyataan pahit bahwa perjuangan mereka hanya akan berakhir sebagai mimpi yang dikubur tanpa kepastian.