Kuasa Hukum Tina Nur Alam Sebut Dalil KPU Sultra dan Asr-Hugua di MK Lemah, Kurang Bukti, dan Tidak Jelas

Jakarta, narasi-news.com – Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) memasuki babak penting setelah Kuasa Hukum Termohon Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sultra dan pihak terkait menyampaikan jawaban di Ruang Sidang Panel II Mahkamah Konstitusi. pada Rabu (22/1/2025).

 

Kuasa Hukum Dra. Hj. Tina Nur Alam, MM., Sugihyarman Silondae, S.H., M.H., menilai argumen-argumen yang disampaikan tidak cukup kuat untuk menghentikan pemeriksaan pokok perkara.

 

Menurutnya, berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, UU Nomor 24 Tahun 2003 yang telah diperbarui, serta UU Nomor 7 Tahun 2020 (UU MK), dan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 3 Tahun 2024, menegaskan kewajiban Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menilai setiap dalil secara menyeluruh, berpedoman pada UUD 1945.

 

Dalam hal legal standing, Kuasa Hukum Termohon dan Pihak Terkait mengklaim bahwa pencabutan surat kuasa dan permohonan secara sepihak oleh Calon Wakil Gubernur, La Ode Muh Ihsan Taufik Ridwan, otomatis menggugurkan kedudukan hukum Dra. Hj. Tina Nur Alam sebagai Calon Gubernur.

 

Namun, Sugihyarman membantah argumen tersebut dengan mengacu pada PMK Nomor 3 Tahun 2024, yang mengatur bahwa pencabutan permohonan harus didasarkan pada kesepakatan seluruh pasangan calon dan memenuhi syarat formil serta materiil.

 

Dirinya menegaskan bahwa hak konstitusional seorang Calon Gubernur tidak dapat dibatalkan sepihak oleh pasangannya tanpa kesepakatan bersama, karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan dan dapat berpotensi menciptakan manipulasi dalam proses hukum.

 

Dalam persidangan, La Ode Muh Ihsan mengaku bahwa pencabutan dilakukan atas kemauannya sendiri tanpa persetujuan Calon Gubernur dan tanpa pemberitahuan resmi kepada tim kuasa hukum pasangan calon.

 

Pencabutan ini terjadi sebelum Mahkamah menetapkan nomor register perkara dan jadwal sidang, sehingga tidak memenuhi persyaratan formil dan materiil sebagaimana diatur dalam hukum. Mahkamah, dengan tetap menetapkan nomor register perkara dan melanjutkan pemeriksaan pendahuluan, secara implisit mengesampingkan pencabutan sepihak tersebut, yang menunjukkan bahwa pencabutan tersebut tidak sah secara hukum dan tidak dapat digunakan untuk menggugurkan legal standing Pemohon. Mahkamah menegaskan prinsip keadilan, integritas, dan kesinambungan proses hukum.

 

Di sisi lain, Kuasa Hukum Termohon dan Pihak Terkait mempersoalkan dalil selisih suara antara Pemohon dan pemenang Pilkada yang diklaim mencapai 31,55 persen, dengan alasan permohonan seharusnya ditolak berdasarkan Pasal 158 UU Pilkada.

 

Dirinya juga, mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki sejumlah yurisprudensi yang menegaskan bahwa ambang batas selisih suara bukanlah norma mutlak, terutama jika terdapat indikasi pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

 

Ia mengutip beberapa putusan MK, seperti Putusan MK Nomor 97/PHP.BUP-XIV/2016 (Sanggau), Putusan MK Nomor 47/PHP.BUP-XIV/2016 (Intan Jaya), dan Putusan MK Nomor 60/PHP.BUP-XVI/2018 (Paniai), yang menunjukkan bahwa Mahkamah tetap memeriksa pokok perkara meski selisih suara di atas ambang batas.

 

“Ini menunjukkan bahwa MK tidak hanya menghitung angka suara. Jika prinsip kejujuran dan keadilan dilanggar, Mahkamah wajib menggali substansi demi melindungi hak konstitusional.”Ucapnya.

 

Selanjutnya, Termohon dan Pihak Terkait juga mempermasalahkan dalil Pemohon mengenai dugaan pemalsuan tanda tangan Ketua DPD Partai Hanura Sultra dalam dokumen B-KWK PARPOL sebagai bagian dari syarat pencalonan, dengan alasan tidak ada laporan resmi ke kepolisian atau Bawaslu. Namun, Sugihyarman menilai pandangan tersebut lemah secara hukum dan tidak relevan dalam konteks sengketa ini.

 

 

“Tidak adanya laporan resmi ke aparat penegak hukum tidak serta-merta menghilangkan potensi pelanggaran. Dalam mekanisme MK, Pemohon dapat mengajukan bukti lain seperti keterangan saksi, ahli, dan akta otentik di bawah sumpah (affidavit), yang sah dan dapat digunakan untuk menilai keabsahan dokumen,” jelasnya.

 

Ia menekankan bahwa proses ini adalah sengketa konstitusional, bukan pidana, sehingga pembuktian bergantung pada substansi bukti yang dapat menunjukkan pelanggaran yang mempengaruhi legitimasi pencalonan.

 

Dirinya juga mengungkapkan bahwa pemalsuan dokumen, seperti tanda tangan Ketua DPD Partai Hanura Sultra, adalah pelanggaran administratif yang dapat membatalkan pencalonan.

 

“Pencalonan itu bersifat kumulatif. Meskipun pasangan calon memenuhi syarat minimal dukungan, jika ada dokumen cacat hukum, pencalonan tetap tidak sah,” Katanya.

 

Ia juga menyoroti kejanggalan verifikasi dokumen oleh KPU Sultra melalui video call yang diajukan oleh Pihak Terkait sebagai bukti.

 

“Mengapa KPU tidak aktif membuktikan keabsahan dokumen ini? Hal ini menimbulkan potensi keberpihakan dan penyimpangan prosedur yang harus diusut,” tegasnya.

 

Dirinya juga mencatat penghentian beberapa laporan dugaan politik uang oleh Bawaslu dan kepolisian karena batas waktu investigasi. Ia mengingatkan bahwa penghentian ini tidak berarti meniadakan pelanggaran.

 

“Asas kemanfaatan dan keadilan menuntut agar MK dapat memeriksa lebih jauh,” katanya. Dalam beberapa perkara sebelumnya.

 

Sugihyarman menegaskan bahwa perkara Nomor 249/PHPU.GUB-XXIII/2025 layak diteruskan ke pemeriksaan pokok perkara, mengutip empat asas hukum utama—keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan, dan perlindungan hak konstitusional—yang dianut MK.

 

“Menutup perkara hanya karena selisih suara melebihi ambang batas atau pencabutan sepihak akan menurunkan kepercayaan publik terhadap peradilan pemilu. MK sebagai penjaga konstitusi wajib memeriksa segala dugaan pelanggaran, tanpa terjebak oleh formalitas yang kaku,” tandasnya.

 

Dirinya juga memperingatkan bahwa jika MK melewatkan proses verifikasi bukti, masyarakat Sultra dan Indonesia berisiko kehilangan hak atas pemilu yang benar-benar jujur dan adil.

 

“Kami berharap MK konsisten dalam menegakkan konstitusi, mengutamakan kebenaran materiil ketimbang sekadar angka selisih,” Pungkasnya.

Array
Related posts