HP21N Soroti Dugaan Konflik Kepentingan Hakim di Kasus Banding PT TMS, Langgar Asas Nebis In Idem

Jakarta, narasi-news.com || Ketua Himpunan Pemuda 21 Nusantara (HP21N) Arnol Ibnu Rasyid kembali menyoroti perkara banding nomor 945/PDT/2025/PT DKI yang tengah bergulir. Perkara ini merupakan upaya hukum atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat nomor 468/Pdt.G/2024/PN.Jkt.Brt terkait sengketa saham PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS).

 

Arnol menyebut, perkara tersebut penuh kejanggalan dan berpotensi mengabaikan putusan hukum sebelumnya yang sudah berkekuatan hukum tetap.

 

“Inti perkara ini terkait saham PT TMS hasil jual beli ilegal. Sudah jelas dalam perkara pidana nomor 102/Pid.B/2021/PN.Kdi, saham yang dialihkan Amran Yunus itu cacat hukum karena didahului pemalsuan tanda tangan serta keterangan palsu dalam akta otentik,” kata Arnol dalam keterangannya, Selasa (26/8/2025).

 

Arnol mengungkapkan bahwa putusan banding ini seolah-olah mengulang bahkan mengabaikan amar putusan perkara perdata No.83/Pdt.G/2020/PN.Kdi juncto putusan Peninjauan Kembali (PK) nomor 850 PK/Pdt/2023. Dalam PK tersebut, majelis hakim secara tegas menyatakan Amran Yunus dan pihak terkait telah melakukan perbuatan melawan hukum, dan surat yang digunakan dalam RUPS luar biasa untuk menjual saham dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum.

 

“Yang jadi penggugat dalam perkara banding ini justru pihak perusahaan yang menerima jual beli lanjutan dari Amran Yunus, padahal sudah dibatalkan oleh putusan PK. Ini akal-akalan saja,” tegas Arnol.

 

Ia juga menyinggung soal adanya keterkaitan nama-nama yang muncul di perkara pidana dengan pihak di tingkat banding. Menurut Arnol, hal itu memunculkan konflik kepentingan dan berpotensi memengaruhi independensi hakim.

 

“Nama pengacara Harley Santoso dan Arif Kurniawan pernah muncul dalam perkara pidana. Bahkan transaksi saham dilakukan di kantor Kabinda Sultra saat dijabat Andi Sumangerukka. Sekarang, di tingkat banding, ada nama hakim Andi Cakra. Hubungan dua nama ini menimbulkan tanda tanya besar,” ucap Arnol.

 

Lebih jauh, Arnol menilai seharusnya perkara tersebut tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) karena obyeknya sudah diputus dan menyangkut asas nebis in idem. Ia merujuk pada aturan Mahkamah Agung yang tertuang dalam **SEMA No.1 Tahun 1996.

 

“Kalau kita baca putusan PN Jakbar, banyak yang tidak nyambung antara pertimbangan dan amar. Misalnya, ada pembatalan surat kuasa dan penetapan PN Kendari, tapi dasar pertimbangannya tidak ada. Putusan model begini yang mau dikuatkan di tingkat banding? Itu sangat berbahaya,” tegas Arnol.

 

Selain aspek hukum, HP21N juga menyoroti aktivitas penggugat yang disebut-sebut merupakan perusahaan tambang ilegal. Arnol menyebut perusahaan itu sudah pernah dihentikan oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan bentukan Presiden karena menambang tanpa izin di kawasan hutan produksi terbatas dan hutan lindung.

 

“Total kerugian negara akibat aktivitas mereka ditaksir Rp9,5 triliun. Presiden sudah tegas dalam pidatonya 16 Agustus lalu: tambang ilegal akan diberantas meski dibekingi jenderal atau pejabat. Pertanyaannya, apakah hakim tinggi mau melawan komitmen negara hanya demi kepentingan segelintir orang?” pungkas Arnol.

Array
Related posts