narasi-news.com, Jakarta – Perhimpunan Aktivis Nusantara (PERANTARA) kembali menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta Pusat, pada Senin siang (2/6). Dari pantauan media, aksi ini sempat memanas ketika massa membakar ban bekas serta terjadi ketegangan dengan aparat keamanan.
Dalam orasinya, massa menyuarakan sejumlah tuntutan, salah satunya adalah mendesak pemerintah untuk mengevaluasi dan mencabut izin operasi PT Sulawesi Cahaya Mineral (SCM), anak perusahaan PT Merdeka Battery Minerals Tbk, yang beroperasi di Kecamatan Routa, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Menurut para demonstran, PT SCM telah melakukan sejumlah pelanggaran serius yang berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Mereka menuding bahwa aktivitas pertambangan perusahaan tersebut telah menyebabkan kerusakan ekologis, terganggunya aliran sungai, hingga bencana banjir yang melanda wilayah Kabupaten Konawe dan Konawe Utara.
Penanggung jawab aksi, Eghy Seftian, menyatakan bahwa PT SCM diduga kuat telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 96 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang mewajibkan setiap pemegang izin untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan secara berkelanjutan.
“PT SCM telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat serius. Ini bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga ancaman nyata terhadap keberlangsungan hidup masyarakat lokal,” tegas Eghy.
Lebih lanjut, ia juga menuding perusahaan telah melakukan penyerobotan lahan milik masyarakat tanpa melalui proses musyawarah atau pemberian ganti rugi yang layak.
Tindakan ini, kata Eghy, mencederai prinsip keadilan sosial dan berpotensi melanggar Pasal 134 UU Minerba, yang menekankan pentingnya penghormatan terhadap hak-hak masyarakat dalam setiap aktivitas pertambangan.
“Kami menuntut Menteri ESDM segera mencabut izin PT SCM. Negara tidak boleh tunduk pada kepentingan korporasi yang menjalankan operasinya secara sewenang-wenang dan merusak,” ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Aksi, Muhammad Rahim, menyoroti komitmen pembangunan smelter oleh PT SCM yang dinilai hanya sebagai modus perusahaan untuk mendapatkan kuota Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dalam jumlah besar. Ia menyebut bahwa kuota RKAB PT SCM yang mencapai 19 juta metrik ton sangat tidak masuk akal dan terkesan ambisius.
“Kami mendesak pemerintah pusat untuk meninjau ulang pemberian kuota RKAB terhadap PT SCM. Jangan sampai pembangunan smelter hanya menjadi kedok untuk meraup keuntungan semata,” ucap Rahim.
Eghy menambahkan bahwa jika Kementerian ESDM tidak segera mengambil langkah tegas, pihaknya akan terus melakukan aksi-aksi protes yang lebih besar dan intensif di berbagai lembaga negara yang memiliki otoritas terhadap sektor pertambangan.
“Aksi hari ini bukan akhir, melainkan awal dari gelombang perlawanan yang lebih besar jika pemerintah terus abai. Negara harus berdiri di pihak rakyat, bukan di bawah kepentingan modal,” pungkasnya.
PERANTARA menegaskan bahwa mereka tidak anti terhadap investasi. Namun, investasi yang mengorbankan ruang hidup masyarakat, merampas tanah adat, dan merusak lingkungan harus dihentikan.
“Save Tanah Routa. Stop mengorbankan rakyat atas nama investasi tambang. Jika investasi hadir dengan cara-cara barbar, tentu kami akan melawan,” tutup Eghy.
Sementara itu, Tim media masih berupaya melakukan konfirmasi ke beberapa pihak terkait sampai berita ini ditayangkan.
Laporan: Red.