Oleh: Nur Asrawan Sumardin
Ketua Bidang Perindustrian dan Perdagangan Badko HMI Jabodetabeka-Banten
narasi-news.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu program unggulan pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi angka malnutrisi dan stunting, terutama pada kelompok masyarakat rentan. Selain berdampak langsung pada peningkatan kualitas gizi masyarakat, program ini juga diharapkan menjadi solusi dalam menjaga stabilitas harga pangan melalui pemanfaatan produk pangan dalam negeri.
MBG merupakan janji kampanye Presiden Prabowo Subianto dan mulai diimplementasikan pada Januari 2025. Namun dalam pelaksanaannya, program ini menghadapi berbagai tantangan krusial, terutama dari segi regulasi, tata kelola, dan transparansi yang masih jauh dari kata ideal.
Regulasi yang Belum Memadai
Salah satu sorotan utama terhadap program MBG adalah lemahnya landasan regulasi. Meskipun telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2024 sebagai payung hukum, hingga program diluncurkan, petunjuk teknis (juknis) pelaksanaan belum tersedia secara resmi. Hal ini menimbulkan kebingungan di lapangan dan menghambat efektivitas program.
Petunjuk teknis seharusnya menjadi dokumen krusial yang mengatur secara rinci aspek pengelolaan program, mulai dari standar gizi, aspek kebersihan, hingga proses distribusi. Ketiadaan juknis menyebabkan pelaksanaan di berbagai daerah berjalan dengan pola berbeda dan hasil yang tidak maksimal.
Tata Kelola dan Transparansi yang Lemah
Pembentukan Badan Gizi Nasional sebagai lembaga pelaksana utama MBG tentu menjadi langkah penting. Namun, kelembagaan ini belum menunjukkan tata kelola yang akuntabel. Salah satu contoh nyata adalah belum jelasnya keterlibatan kementerian dan lembaga negara lain yang mendukung pelaksanaan program. Ketiadaan koordinasi yang terbuka menimbulkan pertanyaan besar.
Keterlibatan unsur militer dalam program ini juga menjadi polemik. Tanpa penjelasan yang transparan mengenai tugas dan batas wewenang militer dalam MBG, publik sulit memahami urgensi dan relevansi peran mereka.
Selain itu, penunjukan mitra pelaksana juga menuai kritik. Dalam narasi awal, UMKM lokal direncanakan menjadi mitra utama. Namun pada kenyataannya, besarnya modal yang dibutuhkan sekitar 500 juta hingga 1 miliar rupiah, terlalu berat bagi UMKM, khususnya di daerah. Hal ini berpotensi menyingkirkan pelaku usaha kecil dari skema yang seharusnya berpihak pada mereka.
Aspek paling krusial adalah transparansi penggunaan anggaran. Dengan total anggaran yang mencapai Rp71 triliun, publik berhak mengetahui alokasi dana secara detail: dari biaya yang digunakan oleh militer, rekrutmen Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia, pembelian bahan baku, hingga distribusi. Keterbukaan informasi adalah kunci agar publik dapat mengawasi dan menilai efektivitas program secara objektif.
Evaluasi: Perlu Dihentikan Sementara atau Diperbaiki Total?
Secara substansi, MBG adalah program yang sangat baik dan bermanfaat. Kebutuhan gizi masyarakat dapat terpenuhi, serapan pangan dalam negeri meningkat, dan stabilitas harga bisa dijaga. Namun, pelaksanaan yang tergesa-gesa, tanpa perencanaan matang, justru berpotensi menimbulkan pemborosan anggaran dan pencapaian manfaat yang tidak optimal.
Untuk itu, pemerintah harus berani mengambil langkah strategis: melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan MBG, baik dari aspek regulasi, tata kelola, maupun transparansi. Bahkan bila perlu, program ini ditunda sementara hingga seluruh fondasi perencanaan dan pelaksanaannya benar-benar matang.
Langkah ini bukanlah bentuk penolakan terhadap program, melainkan upaya untuk memastikan bahwa kebijakan yang dijalankan benar-benar memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat, bukan sekadar memenuhi janji politik tanpa kesiapan teknis.